BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Dalam bidang penelitian obat tradisional bertujuan agar
mengenal dan mengidentifikasi suatu jenis atau spesies bahan alam yang
berkhasiat obat berdasarkan morfologi dan kegunaannya bagi masyarakat di suatu
daerah.
Obat
tradisional di dunia
ini sedang marak digunakan dalam masyarakat. Penggunaan obat tradisional bukan
hanya dikembangkan di Indonesia tapi sudah dikembangkan di negara-negara maju.
Sehingga bahan alam merupakan salah satu sumber bahan baku obat yang perlu
digali, diteliti dan dikembangkan.
Perkembangan pemanfaatan
tumbuh-tumbuhan sebagai obat dari tahun ke tahun pun semakin berkembang pesat dan mengalami
kemajuan. perkembangan mulai terarah mulai dari cara atau metode pembuatannya
sampai cara penggunaannya dibuat sesederhana mungkin tanpa mengurangi ataupun menghilangakan kandungan obat pada
tanaman tersebut.
Untuk mencari sumber obat yang baru dari tumbuhan, para
peneliti tidak terkecuali mahasiswa telah melakukan penelitian mengenai suatu
tanaman yang belum pernah diteliti untuk mendapatkan komponen obat yang dapat
digunakan untuk pengobatan. Komponen dari tumbuhan tersebut kemudian diisolasi dan
diidentifikasi komponen bahan aktifnya yang mengandung nilai terapeutik atau
bahan berkhasiat.
Beberapa metode kromatografi diantaranya adalah
kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis atau yang biasa disebut KLT.
Kromatografi kertas sebagai penyerap digunakan sehelai kertas dengan susunan serabut pada lapisan selulosa yang lazim, menyebabkan lebih banyak terjadi
difusi ke samping dan bercak lebih
besar.
Pada
praktikum ini kita akan lakukan identifikasi golongan komponen kimia dengan
metode kromatografi lapis tipis (KLT) dari tumbuhan Daun jambu biji (Psidium guajava)
1.2
Maksud dan Tujuan
Praktikum
1.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui
dan memahami cara identifikasi
komponen ekstrak metanol daun jambu biji (Psidium
guajava) secara kromatografi lapis tipis.
1.2.2 Tujuan Percobaan
Identifikasi
komponen kimia ekstrak methanol daun jambu biji (Psidium guajava) secara kualitatif dengan metode kromatografi lapis
tipis dengan melihat warna noda dan nilai Rf nya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
a.
Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi dalam
bidang kimia merupakan sebuah teknik analisis yang digunakan untuk
memisahkan sebuah campuran ataupun persenyawaan kimia (adnan, 1997).
Kromatografi
adalah suatu metoda untuk separasi yang menyangkut komponen suatu contoh di
mana komponen dibagi-bagikan antara dua tahap, salah satu yang mana adalah
keperluan selagi gerak yang lain. Di dalam gas chromatography adalah gas
mengangsur suatu cairan atau tahap keperluan padat. Di dalam cairan
chromatography adalah campuran cairan pindah gerakkan melalui cairan yang lain
, suatu padat, atau suatu 'gel' agar. Mekanisme separasi komponen mungkin
adalah adsorpsi, daya larut diferensial, ion-exchange, penyebaran/perembesan,
atau mekanisme lain (David. 2001)
Adsorpsi
Chromatography telah membantu untuk menandai komposisi kelompok minyak mentah
dan produk hidrokarbon sejak permulaan abad ini. Jenis dan sanak keluarga
jumlah kelas hidrokarbon tertentu di (dalam) acuan/matriks dapat telah a efek dalam
pada atas pencapaian dan mutu dari produk hidrokarbon dan dua orang metoda test
standard telah digunakan sebagian besar dari tahun ke tahun (ASTM D2007, ASTM
D4124). Adsorpsi indikator yang berpijar (FIA) metoda (ASTM D1319) telah
melayani untuk di atas 30 tahun sebagai metoda pejabat dari minyak tanah
industri untuk mengukur yang mengandung paraffin olefinic
dan isi bahan bakar pancaran dan bensin berbau harum. Teknik terdiri
dari dalam pemindahana mencicip di bawah isopropanol memaksa melalui suatu
kolom tanah kerikil 'gel' agar-agar ramai; sesak di (dalam) kehadiran tentang
indikator berpijar dikhususkan untuk masing-masing keluarga hidrokarbon. Di
samping penggunaan tersebar luas nya, adsorpsi indikator berpijar mempunyai
banyak (Speight, 2006)
Penentuan
jumlah komponen senyawa dapat dideteksi dengan kromatografi lapis tipis (KLT)
dengan plat KLT yang sudah siap pakai. Terjadinya pemisahan komponen-komponen
pada KLT dengan Rf tertentu dapat dijadikan sebagai panduan untuk memisahkan komponen kimia tersebut dengan
menggunakan kolom kromatografi dan sebagai fase diam dapat digunakan silica gel
dan eluen yang digunakan berdasrkan basil yang diperoleh dari KLT dan akan
lebih baik kalau kepolaran eluen pada kolom kromatografi sedikit sibawah eluen
pada KLT (Lenny, 2006)
Pada
hakekatnya KLT merupakan metode kromatografi cair yang melibatkan dua fase
yaitu fase diam dan fase gerak. Fase geraknya berupa campuran pelarut
pengembang dan fasa diamnya dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai
permukaan penyerap (kromatografi cair-padat) atau berfungsi sebagai penyangga
untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair). Fase diam pada KLT sering
disebut penyerap walaupun berfungsi sebagai penyangga untuk zat cair di dalam
sistem kromatografi cair-cair. Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai
penyerap pada KLT, contohnya silika gel (asam silikat), alumina (aluminium
oksida), kiselgur (tanah diatomae) dan selulosa. Silika gel merupakan penyerap
paling banyak dipakai dalam KLT (Iskandar, 2007)
Cara pemisahan dengan adsorbsi pada lapisan tipis
adsorben yang sekarang dikenal dengan kromatografi lapis tipis (Thin Layer
Chromatography atau TLC) telah dipakai sejak tahun 1983. Tekhnik ini bertujuan
untuk memisahkan komponen kimia secara cepat berdasarkan prinsip adsorbsi dan
partisi.TLC atau KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti
ion – ion anorganik, kompleks senyawa-senyawa organik dengan dengan senyawa –
senyawa anorganik, dan senyawa-senyawa organik baik yang terdapat di alam
maupun senyawa-senyawa organik sintetik (adnan, 1997).
Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis
dibandingkan dengan kromatografi kertas adalah karena dapat dihasilkannya
pemisahan yang lebih sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan
dengan lebih cepat (adnan, 1997).
Kromatografi
lapis tipis merupakan kromatografi
adsorbsi dan adsorben bertindak sebagai fase stasioner. Empat macam adsorben
yang umum digunakan adalah silica gel (asam silikat), alumina (aluminium
oxyde), kieselghur (diatomeus earth) dan selulosa. Dari keempat jenis adsorben
tersebut, yang paling banyak dipakai adalah silica gel karena mempunyai daya
pemisahan yang baik (adnan, 1997).
Teknik
standar dalam melaksanakan pemisahan dengan KLT ini adalah sebagai berikut :
pertama kali lapisan tipis adsorben dibuat pada permukaan plat kaca atau plat
lain, misalnya berukuran 5 x 20 cm atau 20 x 20 cm. tebal lapisan adsorben
tersebut dapat bervariasi, tergantung penggunaannya. Larutan campuran yang akan
dipisahkan diteteskan pada kira – kira 1,5 cm dari bagian bawah plat tersebut
dengan menggunakan pipet mikro atau syringe. Zat pelarut yang terdapat pada sampel yang diteteskan
tersebut kemudian diuapkan lebih dulu. Selanjutnya plat kromatografi tersebut
dikembangkan dengan dengan mencelupkannya pada tangki yang berisi campuran zat
pelarut (solvent system). Dengan
pengembangan tersebut masing –masing komponen senyawa dalam sampel akan
bergerak ke atas dengan kecepatan yang berbeda. Perbedaan kecepatan gerakan ini
merupakan akibat terjadinya pengaruh proses dengan KLT, mulai pemilihan
adsorben sampai identifikasi masing – masing komponen yang telah terpisah (adnan, 1997).
b.
Penampakan Bercak Pada KLT
a. Pada UV (Ultra violet)
Ultra violet adalah penampakan berdasarkan serapan
panjang gelombang cahaya. Sedangkan spekstroskopi adalah untuk mengetahui
panjang gelombang dan variabelnya (misalnya untuk uji kualitatif dan
kuantitatif) (Mufidah, 2001)
Pemisahan komponen kimia berdasarkan pada proses
terjadinya eksitasi dari tingkat energi yang rendah ke tingkat energi yang
lebih tinggi akibat adanya penyerapan radiasi dalam daerah UV-Visibel oleh
suatu molekul yang memiliki ikatan rangkap yang terkonjugasi atau gugus kromofor yang terikat dengan gugus
auksokrom (Mufidah, 2001).
Bila suatu molekul dikenakan sinar oleh
spektrofotometer, maka akan terjadi
interaksi antara cahaya dan molekul tersebut yang mengakibatkan molekul akan
mengalami transisi elektron ketingkat energi yang lebih tinggi dan saat molekul
tersebut kembali ke tingkat energi yang semula akan mengeluarkan emisi yang
dapat ditangkap oleh spektrofotometer sebagai data absorban (Stahl, 1969).
Spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam
larutan yang encer dengan pembanding blanko pelarut serta menggunakan
spektrofotometer yang merekam otomatis. Senyawa dan warna diukur pada jangka
200 nm sampai 400 nm, senyawa berwarna diukur pada jangka 400 nm sampai 700 nm.
Panjang gelombang serapan maksimum dan minimum pada spektrum serapan yang
diperoleh direkam dalam nm. Demikian juga kekuatan absorbansi (keterserapan).
Bahan yang dignakan hanya dalam jumlah sedikit diisi dengan 3 ml larutan.
Dengan manggunakan sel khusus hanya diperlukan sepersepuluh volume tersebut.
Pengukuran spektrum yang demikian itu penting pada identifikasi kandungan
tumbuhan termasuk untuk mendeteksi golongan senyawa tersebut (Stahl, 1969).
Pelarut yang banyak digunakan untuk spektroskopi UV
adalah etanol 95 %, metanol, air, heksan dan eter. Alkohol mutlak niaga harus
dihindari karena mengandung benzen yang menyerap di daerah UV pendek. Pelarut
seperti kloroform harus dihindari karena menyerap kuat di daerah 200 – 600 nm,
tetapi sangat cocok untuk mengukur spektrum tumbuhan karotenida didaerah spektrum
tampak (Stahl, 1969).
b. Penampakan Senyawa Kimia (Auksokrom)
Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm
disebabkan karena adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang
terikat oleh ausokrom yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor adalah
gugus atom yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai
ikatan rangkap tak jenuh (terkonyugasi). Sedangkan gugus terkonyugasi adalah
struktur molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada
berselang-seling dengan ikatan tunggal. Flouresensi warna yang tampak tersebut
merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron
yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi tinggi. Perbedaan
energi emisi yang dipancarkan pada saat kembali ke energi dasar inilah yang
menyebabkan perbedaan flouresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda.
Penampakan noda setelah lempeng disemprot dengan H2SO4 10% disebabkan karena
H2SO4 ini bersifat reduktor yang dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga
panjang gelombangnya bertambah dan warna noda dapat dilihat pada cahaya tampak.
Mekanisme penampakan noda ini dapat disebabkan juga karena gugus OH yang
dimiliki H2SO4 sehingga berfungsi sebagai ausokrom, dimana ausokrom ini dapat
menyebabkan pergeseran batokromik yaitu pergeseran ke arah panjang gelombang
yang lebih panjang sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah panjang gelombang
yang lebih pendek (ke arah UV hampa). Konsentrasi H2SO4 yang digunakan adalah
10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka dapat merusak lempeng namun
jika konsentrasinya terlalu rendah maka kemampuan pemutusan ikatannya tidak
maksimal. Proses pemanasan pada pemanas listrik dimaksudkan untuk membantu
proses pemutusan ikatan pada H2SO4. Sinar UV yang digunakan adalah sinar UV
dengan panjang gelombang 254 nm karena berdasarkan literatur, bahwa banyak
senyawa organik yang dapat berflouresensi jika disinari UV 254 nm. Pada lampu
UV 254 nm noda yang tampak berwarna gelap (ungu) karena yang berflouresensi
adalah lempengnya yang mengandung indikator sedangkan sampelnya tidak. Pada
lampu UV 366 nm warna noda yang tampak adalah terang atau tampak jelas karena
lempengnya tidak berflouresensi tetapi sampelnya.
Gugus ausokrom adalah gugus yang dapat meningkatkan
intensitas pita absorbsi kromofor jika kerikatan dengan gugus kromofor akibat
pemutusan ikatan rangkap, menyebabkan pergeseran panjang gelombang ke daerah
ultra violet dekat (190-380).
Gugus kromofor adalah gugusan atom yang dapat menyerap
radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh
(terkonyugasi).
Gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan ikatan
rangkap tak jenuh bila dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan
tunggal.
Digunakan UV 254 karena UV 254 ini dianggap mewakili pendek
(190-280) dan digunakan UV 366 karena UV 366 ini dianggap mewakili panjang
(280-380).
Analisis
dengan KLT dapat dilakukan untuk mengidentifikasi simplisia yang kelompok
kandungan kimianya telah diketahui. Kelompok kandungan kimia tersebut antara
lain :(Ditjen POM, 1987)
a. Alkaloid
b. Glikosida
jantung
c. Flavanoid
d. Saponin
e. Minyak
atsiri
f. Kumarin
dan asam fenol karboksilat
g. Valepotriat
Lempeng
yang digunakan lempeng silika gel 254 P dengan ukuran 10 x 10 cm. Lempeng dapat
berupa lempeng kaca atau lempeng lain yang cocok. Untuk menentukan kelompok
kandungan kimia suatu simplisia sekurang-kurangnya diperlukan 10 lempeng
(Ditjen POM, 1987).
Cairan
elusi :(Ditjen POM, 1987)
a. Dietil
eter:toluena (1 : 1) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga mengandung
kumarin.
b. Etil
asetat:asam format:asam asetat glacial:air (100 : 11 : 11 : 27) untuk
mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga mengandung flavanoid.
c. Etil
asetat : methanol : air
(100:13,5:10) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga mengandung
flavanoid, alkaloid, antraglikosida, arbutin, glikosida jantung, zat pahit,
flavanoid atau saponin.
d. Kloroform
: etanol : asam asetat glacial (94 : 5 : 1 ) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT
yang diduga mengandung minyak atsiri.
e. Kloroform:methanol:air
(64 : 50 : 10) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga mengandung saponin.
f.
Toluena:etil asetat (93 : 7) untuk mengeluasi
pemeriksaan KLT yang diduga mengandung minyak atsiri, kumarin, valepotriat,
asam-asam pada tumbuh-tumbuhan.
g. Toluena:etil
asetat:dietilamina (70 : 20 : 10) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga
mengandung alkaloid.
Faktor yang mempengaruhi
harga Rf adalah : (Stahl,1985)
a.
Ukuran partikel pada adsorben
b.
Derajat keaktifan dari lapisan penjerap
c.
Ketetapan perbandingan dari eluen
d.
Konsentrasi zat yang dipanaskan
e.
Kejenuhan chamber
f.
Diameter penotol
g.
Tehnik percobaan
h.
Suhu
i.
Keseimbangan
j.
Jumlah cuplikan yang digunakan
k. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap
l.
Pelarut
m. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
n.
Dan lain-lain
Manfaat penggunaan KLT antara lain; (Tim
Penyusun, 2003)
a. Pemeriksaan kualitatif dan kemurnian senyawa obat.
b. Pemeriksaan simplisia hewani dan tanaman.
c. Pemeriksaan komposisi dan komponen aktif sediaan obat.
d.
Penentuan kualitatif masing-masing senyawa
aktif campuran senyawa obat.
II.2 Uraian Bahan
1.
Dietil eter (Ditjen
POM, 1979)
Nama
resmi : DIETIL
ETER
Nama
lain : Dieti,
eter
Rumus
molekul : C2H5O
Jarak
didih : Tersuling
sempurna pada suhu antara 340C
dan
360C.
2.
Metanol (Ditjen POM, 1979)
Nama resmi : METANOLUM
Nama lain : methanol
Rumus molekul : CH2OH
Berat jenis : 0,796
– 0,798
Pemerian : Cairan
jernih tidak berwarna, bau khas
Kelarutan : Dapat
bercampur dengan air membentuk
cairan
jernih tidak berwarna.
3.
n-heksana (Ditjen POM, 1979)
Nama remi : HEXAMINUMUM
Nama lain : Heksamina
RM/BM : C6H12N4 / 140,19
Pemerian : Hablur mengkilap,
tidak berwarna atau
serbuk hablur putih,
tidak berbau, rasa membakar
, manis kemudian agak pahit. Jika di panaskan dalam suhu ±260º
menyublim
Kelarutan : Larut dalam
1,5 bagian air, dalam 12,5 ml
etanol
(95%) P dan dalam lebih kurang 10
bagian
kloroform P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
BAB III
PROSEDUR KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Aluminium foil,
batang pengaduk, cawan porselin, chamber, bult, pipet skala, gelas kimia, gelas ukur,
gunting, lampu UV254 dan UV366 lempeng KLT, mistar,
pipa kapiler, pinset, pensil 2B, dan vial.
III.1.2 Bahan
Aquadest, label,
tissue, ekstrak kering jambu biji (Psidium guajava), methanol, dietil eter, etil
asetat, n-heksan dan n-butanol.
III.1.3 Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan yang
digunakan
2. Dibuat eluen n-heksan : etil asetat dengan perbandingan 8:2, dan 2:6
3. Dimasukkan sedikit ekstrak kering jambu biji(Psidium guajava)
kedalam 3 vial
4. Ditambakan larutan metanol ke vial 1, dietil
eter ke dalam vial 2, n-heksana kedalam vial 3
5. Dibiarkan hingga sampel melarut
6. Disiapkan lempeng KLT dengan ukuran 7 x 1 cm
7. Ditotolkan masing-masing sampel pada lempeng
KLT yang disediakan
8. Dimasukkan Lempeng KLT kedalam chamber yang
telah berisi eluen dengan perbandingan yang telah dibuat
9. Dibiarkan eluen hingga mencapai batas dari lempeng
10. Dikeluarkan lempeng dari gelas chamber
11. Diamati dibawah lampu UV254 dan UV366
dan ditentukan nilai Rf dari bercak yang tampak pada lempeng.
12. Dilakukan dgn hal yang sama pada pembuatan eluen n-heksan dan etil asetat
pada perbandingan 8:2.
13. Disiapkan 4 lempeng KLT , ditotol dimasukkan ke dalam chamber berisi
eluen.
14. Ditunggu hingga mencapat batas dari lempeng.
15. Dikeluarkan dari chamber
16. Disemprotkan lempeng pertama dgn prekasi drangendrof.
17. Diteteskan lempeng kedua dgn perekasi FeCI3
18. Diteteskan lempeng ketiga dengan perekasi H2SO4
19. Diteteskan lempeng ke empat dengan pereaksi karboksilat
20. Diamati dibawah lampu UV254 dan UV366
dan di foto.
BAB IV
HASIL
PENGAMATAN
1. Foto profil KLT
a.
Hasil pengamatan
Nama Simplisia : Psidium guajava
Uji Pendahuluan : mengandung alkaloid dan saponim
Fase diam : silika gel
Fase gerak : n-Heksan : Etil asetat (8:2)
Ukuran Lempeng : 7 cm x 1 cm
Ø Pelarut
Nonpolar (n-hexan)
Eluen n-heksan : etil asetat (8 : 2)
UV 254 nm UV 366 nm H2SO4 10
%
Ø Pelarut
nonpolar (n-heksan)
Eluen
n-heksan : etil asetat (8 : 2)
UV
254 nm UV 366 nm FeCl3 %
Ø Ekstrak semipolar (n-butanol)
Eluen n-heksan : etilasetat (8 : 2)
UV 254 nm UV 366 nm karboksilat
Ø
Ekstrak
semipolar (n-butanol)
Eluen n-heksan : etilasetat (8 : 2)
UV 254 nm UV 366 nm Dragendrof
b.
Tabel
Pengamatan eksktrak metanol
UV
|
254 nm
|
UV
|
366 nm
|
||||||
Noda
|
Nilai
|
Rf
|
Nilai
|
Noda
|
Nilai
|
Rf
|
Nilai
|
||
1
|
1 cm
|
1
|
0,18 cm
|
1
|
0,9
cm
|
1
|
0,16
cm
|
||
2
|
1,3
cm
|
2
|
0,23
cm
|
2
|
1,4 cm
|
2
|
0,25
cm
|
||
3
|
2,1
cm
|
3
|
0,38
cm
|
3
|
1,8
cm
|
3
|
0,32
cm
|
||
4
|
3 cm
|
4
|
0,54 cm
|
4
|
2,3 cm
|
4
|
0,41 cm
|
||
5
|
4,4
|
5
|
0,8 cm
|
5
|
3 cm
|
5
|
0,54 cm
|
||
6
|
3,9 cm
|
6
|
0,70 cm
|
||||||
7
|
4,4 cm
|
7
|
0,8 cm
|
||||||
Perhitungan :
UV 254 Nm
Noda
1 = 1cm, Rf1 = 1/5,5 = 0,18 cm
Noda
2 = 1,3 cm, Rf2
= 1,3 /5,5
= 0,23 cm
Noda
3 = 2,1 cm, Rf3
= 2,1/5,5
= 0,38 cm
Noda
4 = 3
cm, Rf3 = 3/5,5
= 0,54 cm
Noda
5 = 4,4
cm, Rf3 = 4,4/5,5
= 0,8 cm
UV 366 nm
Noda
1 = 0,9 cm , Rf1 = 0,9/5,5 = 0,16 cm
Noda
2 = 1,4 cm, Rf2 = 1,4/5,5
= 0,25 cm
Noda
3 = 1,8 cm, Rf3 cm = 1,8/5,5
= 0,32 cm
Noda
4 = 2,3 cm, Rf3 cm = 2,3/5,5 = 0,41 cm
Noda
5 = 3 cm,
Rf3 cm = 3/5,5 = 0,54 cm
Noda
6 = 3,9 cm, Rf3 cm = 3,9/5,5 = 0,70 cm
Noda
7 = 4,4 cm, Rf3 cm = 4,4/5,5 = 0,8 cm
Ø Fraksi N-heksan
UV
|
254 nm
|
UV
|
366 nm
|
||||||
Noda
|
Nilai
|
Rf
|
Nilai
|
Noda
|
Nilai
|
Rf
|
Nilai
|
||
1
|
3,8 cm
|
1
|
0,69 cm
|
1
|
4,2 cm
|
1
|
0,704 cm
|
||
2
|
1,15 cm
|
2
|
0,209 cm
|
2
|
3,65 cm
|
2
|
0,664 cm
|
||
*
|
*
|
*
|
*
|
3
|
2,7 cm
|
3
|
0,491 cm
|
||
*
|
*
|
*
|
*
|
4
|
1
|
4
|
0,182 cm
|
||
Perhitungan :
UV 254 nm
Noda
1 = 3,8 cm, Rf1 = 3,8/5,5 = 0,69 cm
Noda
2 = 1,15 cm, Rf2 = 1,15/5,5 = 0,209 cm
UV 366 nm
Noda
1 = 4,2 cm, Rf1 = 4,2/5,5 = 0,704 cm
Noda
2 = 3,65 cm, Rf2 = 3,65/5,5 = 0,664 cm
Noda
3 = 2,7 cm, Rf3 = 2,7/5,5 = 0,491 cm
Noda
4 = 1, Rf4 cm = 1/5,5 = 0,182 cm
BAB V
PEMBAHASAN
Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang ingin dideteksi dengan
memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan perbedaan
kepolaran.
Prinsip kerjanya adalah
berdasarkan adsorpsi dan partisi, dimana sampel akan berpisah berdasarkan
perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik
ini biasanya menggunakan fase diam dari bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan
dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Semakin dekat kepolaran antara
sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.
Fase diam (adsorben) contohnya silika gel (asam silikat), alumina (aluminium
oksida), kieslguhr (diatomeous earth), dan selulosa. Dari keempat jenis
adsorben tersebut, yang paling banyak dipakai ialah silika gel dan masing-masing terdiri dari beberapa
jenis yang mempunyai nama perdagangan bermacam-macam. Silika gel ini menghasilkan perbedaan dalam efek
pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya. Selain itu harus diingat bahwa penyerap yang
berpengaruh nyata terhadap daya pemisahnya.
Fase gerak (mobile) meliputi beberapa variasi eluen. Eluen yang digunakan untuk proses elusi terdapat dua
jenis yaitu eluen yang lebih polar dan eluen yang kurang polar. Penggunaan
eluen yang kurang polar dimaksudkan untuk mengelusi ekstrak heksan dan ekstrak
metanol, sedangkan eluen yang lebih polar untuk mengelusi ekstrak n-butanol
jenuh air dan ekstrak metanol. Eluen yang digunakan merupakan kombinasi dari
dua macam pelarut, Hal ini dimaksudkan untuk mencapai semua tingkat kepolaran
sehingga eluen ini dapat mengangkat noda yang tingkat kepolarannya
berbeda-beda. Perbandingan jumlah eluen yang digunakan berdasarkan pengalaman
dapat menarik komponen kimia yang maksimal. Namun jika pada penampakan noda,
belum diperoleh jumlah noda yang maksimal atau posisi noda terlalu ke atas atau
ke bawah maka perbandingan ini dapat dikombinasikan kembali.
Prinsip eluen tersebut dalam melewati fase
diam (terelusi
naik ke atas) adalah bergerak
berdasarkan prinsip partisi dimana fase gerak akan teradsorpsi pada permukaan
dan mengisi ruang-ruang diantara sel penyerap, kemudian terpartisi
Prinsip pemisahan noda adalah berdasarkan
kepolarannya sehingga menghasilkan kecepatan yang berbeda-beda saat terpartisi
dan terjadilah pemisahan. Untuk memisahkan noda dengan sebaik-baiknya maka
digunakan kombinasi eluen non polar dengan polar. Apabila noda yang diperoleh
terlalu tinggi, maka kecepatannya dapat dikurangi dengan mengurangi kepolaran. Namun apabila nodanya
lambat bergerak atau hanya ditempat, maka kepolaran dapat ditambah.
Pemilihan sinar UV yang digunakan yaitu UV
254 nm dan UV 366 nm, karena kedua UV ini telah mampu mewakili kedua jenis UV
dekat. Dimana UV panjang diwakili oleh UV 366 nm dan UV pendek diwakili oleh 254 nm.
Pada
UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan tampak berwarna
gelap.Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah karena adanya daya interaksi
antara sinar UV dengan indikator fluoresensi yang terdapat pada lempeng.
Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh
komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke
tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil
melepaskan energi
Pada UV 366 nm noda
akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu
UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus
kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi
cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen
tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat
energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan
energi. Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 terlihat terang karena
silika gel yang digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366 nm
Penampakan noda pada
sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan karena adanya interaksi antara sinar UV dengan
gugus kromofor yang terikat oleh ausokrom yang terdapat pada noda tersebut.
Gugus kromofor adalah gugus atom yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik
(sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh (terkonyugasi). Sedangkan
gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh
lebih dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan tunggal. Flouresensi
warna yang tampak tersebut merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh
komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke
tingkat energi tinggi. Perbedaan energi emisi yang dipancarkan pada saat
kembali ke energi dasar inilah yang menyebabkan perbedaan flouresensi warna
yang dihasilkan oleh tiap noda. Penampakan noda setelah lempeng disemprot dengan
H2SO4 10% disebabkan karena H2SO4 ini bersifat reduktor yang dapat memutuskan
ikatan rangkap sehingga panjang gelombangnya bertambah dan warna noda dapat
dilihat pada cahaya tampak.
Mekanisme penampakan
noda ini dapat disebabkan juga karena gugus OH yang dimiliki H2SO4 sehingga
berfungsi sebagai ausokrom, dimana ausokrom ini dapat menyebabkan pergeseran
batokromik yaitu pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih panjang
sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah panjang gelombang yang lebih pendek (ke
arah UV hampa). Konsentrasi H2SO4 yang digunakan adalah 10% karena jika
konsentrasinya terlalu pekat maka dapat merusak lempeng namun jika
konsentrasinya terlalu rendah maka kemampuan pemutusan ikatannya tidak
maksimal. Proses pemanasan pada pemanas listrik dimaksudkan untuk membantu
proses pemutusan ikatan pada H2SO4. Sinar UV yang digunakan adalah sinar UV
dengan panjang gelombang 254 nm karena berdasarkan literatur, bahwa banyak
senyawa organik yang dapat berflouresensi jika disinari UV 254 nm. Pada lampu
UV 254 nm noda yang tampak berwarna gelap (ungu) karena yang berflouresensi
adalah lempengnya yang mengandung indikator sedangkan sampelnya tidak. Pada
lampu UV 366 nm warna noda yang tampak adalah terang atau tampak jelas karena
lempengnya tidak berflouresensi tetapi sampelnya.
Gugus ausokrom adalah
gugus yang dapat meningkatkan intensitas pita absorbsi kromofor jika kerikatan
dengan gugus kromofor akibat pemutusan ikatan rangkap, menyebabkan pergeseran
panjang gelombang ke daerah ultra violet dekat (190-380).
Gugus kromofor adalah
gugusan atom yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan
mempunyai ikatan rangkap tak jenuh (terkonyugasi).
Gugus terkonyugasi
adalah struktur molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh bila dari satu yang
berada berselang-seling dengan ikatan tunggal.
Digunakan UV 254 karena
UV 254 ini dianggap mewakili pendek (190-280) dan digunakan UV 366 karena UV
366 ini dianggap mewakili panjang (280-380).
Sebelum dilakukan
pengujian KLT, lempeng KLT harus diaktifkan terlebih dahulu. Pengaktifan
dilakukan dengan cara lapisan lumpuran silica gel atau aluminium harus
dibiarkan selama 30 menit atau lebih pada suhu kamar, kemudian diaktifkan pada
suhu 110 oC sekurang-kurangnya 1 jam, dengan demikian lapisan itu
mempunyai keaktifan Brockmann II-III dan harus disimpan dalam kotak kering atau
desikator besar sampai dipakai.
Adapun tahapan dari
pengerjaan kromatografi lapis tipis adalah mula-mula sampel dilarutkan dengan
pelarut yang sesuai, dimana ekstrak metanol dilarutkan dengan metanol, ekstrak
eter dilarutkan dengan eter dan ekstrak n-butanol dilarutkan dengan n-butanol.
Kemudian sampel yang telah dilarutkan
ditotolkan pada lempeng KLT dengan menggunakan pipa kapiler. Lempeng kemudian
diangin-anginkan sedikit. Lalu lempeng dimasukkan ke dalam chamber yang berisi
eluen (n-heksan:etil asetat, 8:2), dimana sebelumnya chamber dijenuhkan dengan
cara memasukkan kertas saring kedalam chamber yang telah berisi eluen dan
ditunggu hingga kertas saring terelusi seluruhnya oleh eluen. Kemudian lempeng
KLT yang berada di dalam chamber dibiarkan terelusi oleh eluen hingga tanda
batas eluen. Bila lempeng KLT telah terelusi, maka lempeng KLT kemudian
diangkat dan dikeringkan. Proses berikutnya adalah visualisasi, dimana noda
pada lempeng KLT diamati dibawah lampu UV 254 nm dan 366 nm. Juga digunakan
penyemprotan dengan menggunakan H2SO4 10%. Setelah
dilakukan tahap visualisasi, noda yang telah terpisah kemudian diukur nilai Rf
nya
Kromatografi lapis tipis
dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan
kromatografi kolom. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan
lebih sederhana dan dapat dikatakan hampir semua laboratorium dapat
melaksanakan setiap saat secara cepat.
Faktor-faktor eluen
terelusi antara lain :
·
Kapilaritas
·
Kepolaran
·
Kelembaban
·
Suhu
Beberapa keuntungan dari
kromatografi planar ini :
1.
Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk
tujuan analisis.
2.
Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan
dengan pereaksi warna, fluorosensi atau dengan radiasi menggunakan sinar
ultraviolet.
3.
Dapat
dilakukan elusi secara menaik (ascending),
menurun (descending),
atau dengan cara elusi 2 dimensi.
4.
Ketepatan
penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan
bercak yang tidak bergerak.
Masalah-masalah
yang dapat timbul dalam pelaksanaan kromatografi lapis tipis (KLT), yaitu :
1.
Bercak berekor. Adanya perbedaan pH, ataupun senyawa mengandung gugus
yang bersifat asam atau basa kuat (amina atau asam karboksilat). Tambahkan
beberapa tetes NH4OH (amonia) atau asam asetat (asam karboksilat)
pada eluen.
2.
Bercak tidak membulat.
Sampel terlalu pekat. Kembangkan lagi KLT setelah sampel diencerkan.. Sampel
terlalu banyak mengandung komponen. Perlu dilakukan partisi terhadap sampel.
3.
Tidak nampak bercak.
Sampel terlalu encer. Pekatkan sampel, atau tambahkan volume sampel yang
ditotolkan.. Beberapa senyawa memang tidak menunjukkan pemadaman di bawah lampu
UV. Pakailah reagen semprot untuk menampakan bercak (biasanya uap iodin atau
serium sulfat)
4.
Garis batas atas tidak
rata. Chamber tidak/kurang jenuh eluen (penjenuhan kurang optimum).. Pemasangan plat dalam chamber tidak pas (miring).
Noda-noda yang diperoleh
biasanya berekor disebabkan karena :
1. Penotolan yang berulang-ulang dan letaknya
tidak tepat
2. Kandungan senyawa yang terlalu asam atau basa
Pada KLT Nilai Ekstrak metanol pada UV
254 Nm Noda 1 adalah 1 cm dengan
Rf1 0,18 cm, Noda 2
adalah 1,3 cm, dengan Rf2 0,23 cm,
Noda 3 adalah 0,9 cm dengan 0,164 cm dan
UV 366 nm Noda 1 adalah 3,9 cm , Rf1 adalah
0,709 cm, Noda 2 adalah 2,7 cm,
Rf2 yaitu 0,49 cm Noda 3 yaitu 1,15, Rf3 adalah 0,209 cm.
Sedangkan
Fraksi N-heksan UV 254 nm Noda 1
adalah 3,8 cm, Rf1 yaitu 0,69 cm,
Noda 2 adalah 1,15 cm, Rf2 yaitu 0,209 cm, pada UV 366 nm Noda 1 adlah
4,2 cm, Rf1 yaitu 0,704 cm, Noda 2
adalah 3,65 cm, Rf2 yaitu 0,664 cm, Noda 3 adalah 2,7 cm, Rf3
yaitu 0,491 cm, Noda 4 adalah 1, Rf4 cm
yaitu 0,182 cm, serta Ekstrak metanol Ke II pada UV 254 nm dengan Noda 1 adalah
5 cm, Rf1 yaitu 0,909 cm, Noda 2 adalah 4,3 cm, Rf2 yaitu 0,781 cm , Noda 3 adalah 3,3 cm, Rf3 yaitu
0,6 cm, Noda 4 adalah 2,1 cm,
Rf4 yaitu 0,821 cm, Noda 5 adalah 0,9 cm,
Rf5 yaitu 0,163 cm, UV 366 nm anatara lain Noda 1
adalah 5,05 cm, Rf1 yaitu 0,918 cm, Noda 2 adalah 4,2 cm, Rf2
yaitu 0,763 cm, Noda 3 adalah
3,45 cm, Rf3 yaitu 0,627 cm, Noda 4 adalah 2,2 cm, yaitu
0,4 cm, Noda 5 adalah 0,9 cm,
Rf5 yaitu 0,163 cm,
Fraksi N-kexan ke II pada UV 254 nm, Noda 1
adalah 5 cm, Rf1 yaitu 0,909
cm, Noda 2 adalah 4,2 cm, Rf2 yaitu
0,763 cm, Noda 3 adalah 3,25 cm,
Rf3 yaitu 0,590 cm, Noda 4 adalah 2,2 cm, Rf4
yaitu 0,4 cm, Noda 5 adalah 0,9 cm, Rf5
yaitu 0,163 cm, UV 366 nm antara
lain Noda 1 adalah 5 cm, Rf1 yaitu 0,909
cm, Noda 2 adalah 4,2 cm,
Rf2 yaitu 0,763 cm, Noda 3 adalah 3,35
cm, Rf3 yaitu 0,609 cm, Noda 4 adalah
2,2 cm, Rf4 yaitu 0,4 cm
Dalam percobaan KLT juga dilakukan
penyemprotan FeCL3 1 N dan H2SO4 10 % pada lempeng KLT setelah diamati pada
lampu UV 254 nm dan 366 nm dengan menggunakan alat khusus untuk penyemprotan
yang disambung dengan gas yang menghasilkan udara ketika di hidupkan sehingga
gas/angin yang diserap mendorong cairan FeCL3 dan H2SO4 memancarkan air pada lempeng
KLT dengan posisi terbaring yang sejajar dengan mulut (tempat keluar air) pada
alat penyemprotan. Adapun hasilnya pada penyemprotan FeCL3 1 N mengandung gugus
fenolik yang ditandai dengan warna hjiau
kehitaman pada lempeng begitupun juga pada H2SO4 10 %. Dalam percobaan
menggunakan pelarut methanol, n-heksan
: etil asetat dengan perbandingan 8 : 2 dalam dibuat dalam 10 ml.
BAB VI
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
Dari hasil percobaan
yang dilakukan didapatkan kesimpulan yaitu:
Nilai Rf pada sampel dengan eluen etil asetat : n-heksan
pada pelarut methanol yaitu Rf1= 0,18 cm sampai Rf5 = 0,8 cm pada UV 254 sedangkan pada UV 366 yaitu Rf1 = 0,16 cm sampai Rf7 = 0,8 cm.
Nilai Rf pada sampel dengan eluen etil asetat : n-heksan pada pelarut
N-heksan yaitu Rf1 0,69 sampai Rf2 0,209 cm pada UV 254 sedangkan pada UV 366
yaitu Rf1 0,704 cm sampai 0m182 cm.
VI. 2 Saran
Sebaiknya alat-alat
di laboratorium ditambah jumlahnya agar proses praktikum dapat berjalan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2013, Penuntun dan Buku Kerja Praktikum Fitokimia
1. Laboratorium Faramasi Bahan Alam Fakultas Farmasi UMI : Makassar.
Adnan,
M. 1997. Teknik Kromatografi Untuk
Analisis Bahan Makanan, ANDI UGM, Yogyakarta.
David, C. 2001. Gas
Cromatography. Kogan Page. London.
Ditjen POM, 1987. Farmakope Indonesia Ed. III. Departemen Kesehatan RI : Jakarta
Ditjen POM, 1979, Farmakope Indonesia Jilid III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Iskandar, M.J.
2007. Pengantar Kromatografi Edisi Kedua. Penerbit ITB. Bandung.
Lenny, S. 2006.
Analisi Kromatografi dan Mikroskop. ITB. Bandung.
Muhfida,
M.W. 2001. “Panduan
Praktikum Analisis Fitokimia”. Laboratorium Farmakologi Jurusan Farmasi
FMIPA. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Stahl, E (peny.),
1969. Thin Layer Cromatography, tbn. 2, George Allen dan Unwin. London.
Speight, H. M,. Absorption Kromatography. Academic Press.
New York.
Tim Penyusun, dkk. 2003. Penuntun Laboratorium Kimia
Produk Alami. Biologi Farmasi. UGM. Jakarta
LAMPIRAN
Skema Kerja
Disapkan alat dan
bahan yang digunakan
Disiapakan
eluen n-heksan : dietil eter (6:4) dan (2:8)
Dimasukkan
ekstrak kedalam 2 vial
Dilarutkan dengan
masing pelarut
Vial 1 : methanol
Vial 2 : n-heksana
Disiapkan lempeng KLT
dengan ukuran 7 x 1
Ditotolkan sampel
dengan pipa kapiler pada lempeng KLT
Dielusis hingga eluen
mancapai batas pada lempeng KLT
Diamati dibawah lampu
UV254 dan UV366
Dihitung nilai Rfnya
Hello I am so delighted I located your blog, I really located you by mistake, while I was watching on google for something else, Anyways I am here now and could just like to say thank for a tremendous post and a all round entertaining website. Please do keep up the great work.
ReplyDeleteautocampionatore spazio di testa