Sunday, June 16, 2019

laporan KLT

BAB I
PENDAHULUAN
I.1   Latar Belakang
Dalam bidang penelitian obat tradisional bertujuan agar mengenal dan mengidentifikasi suatu jenis atau spesies bahan alam yang berkhasiat obat berdasarkan morfologi dan kegunaannya bagi masyarakat di suatu daerah.
Obat tradisional di dunia ini sedang marak digunakan dalam masyarakat. Penggunaan obat tradisional bukan hanya dikembangkan di Indonesia tapi sudah dikembangkan di negara-negara maju. Sehingga bahan alam merupakan salah satu sumber bahan baku obat yang perlu digali, diteliti dan dikembangkan.
Perkembangan pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai obat dari tahun ke tahun  pun semakin berkembang pesat dan mengalami kemajuan. perkembangan mulai terarah mulai dari cara atau metode pembuatannya sampai cara penggunaannya dibuat sesederhana mungkin  tanpa mengurangi ataupun menghilangakan   kandungan obat  pada  tanaman tersebut.
Untuk mencari sumber obat yang baru dari tumbuhan, para peneliti tidak terkecuali mahasiswa telah melakukan penelitian mengenai suatu tanaman yang belum pernah diteliti untuk mendapatkan komponen obat yang dapat digunakan untuk pengobatan. Komponen dari tumbuhan  tersebut kemudian diisolasi dan diidentifikasi komponen bahan aktifnya yang mengandung nilai terapeutik atau bahan berkhasiat.
Beberapa metode kromatografi diantaranya adalah kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis atau yang biasa disebut KLT. Kromatografi kertas sebagai penyerap digunakan sehelai kertas dengan  susunan serabut  pada lapisan selulosa  yang lazim, menyebabkan lebih banyak terjadi difusi ke samping  dan bercak lebih besar.
Pada praktikum ini kita akan lakukan identifikasi golongan komponen kimia dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT) dari tumbuhan Daun jambu biji (Psidium guajava)
1.2  Maksud dan Tujuan Praktikum
 1.2.1 Maksud Percobaan     
   Mengetahui dan memahami cara identifikasi komponen ekstrak metanol daun jambu biji (Psidium guajava) secara kromatografi lapis tipis.
1.2.2  Tujuan Percobaan
Identifikasi komponen kimia ekstrak methanol daun jambu biji (Psidium guajava) secara kualitatif dengan metode kromatografi lapis tipis dengan melihat warna noda dan nilai Rf nya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
a.    Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi dalam  bidang kimia merupakan sebuah teknik analisis yang digunakan untuk memisahkan sebuah campuran ataupun persenyawaan kimia  (adnan, 1997).
Kromatografi adalah suatu metoda untuk separasi yang menyangkut komponen suatu contoh di mana komponen dibagi-bagikan antara dua tahap, salah satu yang mana adalah keperluan selagi gerak yang lain. Di dalam gas chromatography adalah gas mengangsur suatu cairan atau tahap keperluan padat. Di dalam cairan chromatography adalah campuran cairan pindah gerakkan melalui cairan yang lain , suatu padat, atau suatu 'gel' agar. Mekanisme separasi komponen mungkin adalah adsorpsi, daya larut diferensial, ion-exchange, penyebaran/perembesan, atau mekanisme lain (David. 2001)
Adsorpsi Chromatography telah membantu untuk menandai komposisi kelompok minyak mentah dan produk hidrokarbon sejak permulaan abad ini. Jenis dan sanak keluarga jumlah kelas hidrokarbon tertentu di (dalam) acuan/matriks dapat telah a efek dalam pada atas pencapaian dan mutu dari produk hidrokarbon dan dua orang metoda test standard telah digunakan sebagian besar dari tahun ke tahun (ASTM D2007, ASTM D4124). Adsorpsi indikator yang berpijar (FIA) metoda (ASTM D1319) telah melayani untuk di atas 30 tahun sebagai metoda pejabat dari minyak tanah industri untuk mengukur yang mengandung paraffin  olefinic  dan isi bahan bakar pancaran dan bensin berbau harum. Teknik terdiri dari dalam pemindahana mencicip di bawah isopropanol memaksa melalui suatu kolom tanah kerikil 'gel' agar-agar ramai; sesak di (dalam) kehadiran tentang indikator berpijar dikhususkan untuk masing-masing keluarga hidrokarbon. Di samping penggunaan tersebar luas nya, adsorpsi indikator berpijar mempunyai banyak (Speight, 2006)
Penentuan jumlah komponen senyawa dapat dideteksi dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan plat KLT yang sudah siap pakai. Terjadinya pemisahan komponen-komponen pada KLT dengan Rf tertentu dapat dijadikan sebagai panduan untuk  memisahkan komponen kimia tersebut dengan menggunakan kolom kromatografi dan sebagai fase diam dapat digunakan silica gel dan eluen yang digunakan berdasrkan basil yang diperoleh dari KLT dan akan lebih baik kalau kepolaran eluen pada kolom kromatografi sedikit sibawah eluen pada KLT (Lenny, 2006)
Pada hakekatnya KLT merupakan metode kromatografi cair yang melibatkan dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase geraknya berupa campuran pelarut pengembang dan fasa diamnya dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penyerap (kromatografi cair-padat) atau berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair). Fase diam pada KLT sering disebut penyerap walaupun berfungsi sebagai penyangga untuk zat cair di dalam sistem kromatografi cair-cair. Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penyerap pada KLT, contohnya silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah diatomae) dan selulosa. Silika gel merupakan penyerap paling banyak dipakai dalam KLT (Iskandar, 2007)
Cara pemisahan dengan adsorbsi pada lapisan tipis adsorben yang sekarang dikenal dengan kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography atau TLC) telah dipakai sejak tahun 1983. Tekhnik ini bertujuan untuk memisahkan komponen kimia secara cepat berdasarkan prinsip adsorbsi dan partisi.TLC atau KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion – ion anorganik, kompleks senyawa-senyawa organik dengan dengan senyawa – senyawa anorganik, dan senyawa-senyawa organik baik yang terdapat di alam maupun senyawa-senyawa organik sintetik  (adnan, 1997).
Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan kromatografi kertas adalah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat  (adnan, 1997).
Kromatografi lapis tipis  merupakan kromatografi adsorbsi dan adsorben bertindak sebagai fase stasioner. Empat macam adsorben yang umum digunakan adalah silica gel (asam silikat), alumina (aluminium oxyde), kieselghur (diatomeus earth) dan selulosa. Dari keempat jenis adsorben tersebut, yang paling banyak dipakai adalah silica gel karena mempunyai daya pemisahan yang baik  (adnan, 1997).
Teknik standar dalam melaksanakan pemisahan dengan KLT ini adalah sebagai berikut : pertama kali lapisan tipis adsorben dibuat pada permukaan plat kaca atau plat lain, misalnya berukuran 5 x 20 cm atau 20 x 20 cm. tebal lapisan adsorben tersebut dapat bervariasi, tergantung penggunaannya. Larutan campuran yang akan dipisahkan diteteskan pada kira – kira 1,5 cm dari bagian bawah plat tersebut dengan menggunakan pipet mikro atau syringe. Zat pelarut yang terdapat pada sampel yang diteteskan tersebut kemudian diuapkan lebih dulu. Selanjutnya plat kromatografi tersebut dikembangkan dengan dengan mencelupkannya pada tangki yang berisi campuran zat pelarut (solvent system). Dengan pengembangan tersebut masing –masing komponen senyawa dalam sampel akan bergerak ke atas dengan kecepatan yang berbeda. Perbedaan kecepatan gerakan ini merupakan akibat terjadinya pengaruh proses dengan KLT, mulai pemilihan adsorben sampai identifikasi masing – masing komponen yang telah terpisah (adnan, 1997).
b.    Penampakan Bercak Pada KLT
a.     Pada UV (Ultra violet)
Ultra violet adalah penampakan berdasarkan serapan panjang gelombang cahaya. Sedangkan spekstroskopi adalah untuk mengetahui panjang gelombang dan variabelnya (misalnya untuk uji kualitatif dan kuantitatif) (Mufidah, 2001)  
Pemisahan komponen kimia berdasarkan pada proses terjadinya eksitasi dari tingkat energi yang rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi akibat adanya penyerapan radiasi dalam daerah UV-Visibel oleh suatu molekul yang memiliki ikatan rangkap yang terkonjugasi  atau gugus kromofor yang terikat dengan gugus auksokrom (Mufidah, 2001).
Bila suatu molekul dikenakan sinar oleh spektrofotometer,  maka akan terjadi interaksi antara cahaya dan molekul tersebut yang mengakibatkan molekul akan mengalami transisi elektron ketingkat energi yang lebih tinggi dan saat molekul tersebut kembali ke tingkat energi yang semula akan mengeluarkan emisi yang dapat ditangkap oleh spektrofotometer sebagai data absorban  (Stahl, 1969).
Spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang encer dengan pembanding blanko pelarut serta menggunakan spektrofotometer yang merekam otomatis. Senyawa dan warna diukur pada jangka 200 nm sampai 400 nm, senyawa berwarna diukur pada jangka 400 nm sampai 700 nm. Panjang gelombang serapan maksimum dan minimum pada spektrum serapan yang diperoleh direkam dalam nm. Demikian juga kekuatan absorbansi (keterserapan). Bahan yang dignakan hanya dalam jumlah sedikit diisi dengan 3 ml larutan. Dengan manggunakan sel khusus hanya diperlukan sepersepuluh volume tersebut. Pengukuran spektrum yang demikian itu penting pada identifikasi kandungan tumbuhan termasuk untuk mendeteksi golongan senyawa tersebut (Stahl, 1969).
Pelarut yang banyak digunakan untuk spektroskopi UV adalah etanol 95 %, metanol, air, heksan dan eter. Alkohol mutlak niaga harus dihindari karena mengandung benzen yang menyerap di daerah UV pendek. Pelarut seperti kloroform harus dihindari karena menyerap kuat di daerah 200 – 600 nm, tetapi sangat cocok untuk mengukur spektrum tumbuhan karotenida didaerah spektrum tampak (Stahl, 1969).
b.  Penampakan Senyawa Kimia (Auksokrom)
Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan karena adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh ausokrom yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor adalah gugus atom yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh (terkonyugasi). Sedangkan gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan tunggal. Flouresensi warna yang tampak tersebut merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi tinggi. Perbedaan energi emisi yang dipancarkan pada saat kembali ke energi dasar inilah yang menyebabkan perbedaan flouresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda. Penampakan noda setelah lempeng disemprot dengan H2SO4 10% disebabkan karena H2SO4 ini bersifat reduktor yang dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga panjang gelombangnya bertambah dan warna noda dapat dilihat pada cahaya tampak. Mekanisme penampakan noda ini dapat disebabkan juga karena gugus OH yang dimiliki H2SO4 sehingga berfungsi sebagai ausokrom, dimana ausokrom ini dapat menyebabkan pergeseran batokromik yaitu pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih panjang sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah panjang gelombang yang lebih pendek (ke arah UV hampa). Konsentrasi H2SO4 yang digunakan adalah 10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka dapat merusak lempeng namun jika konsentrasinya terlalu rendah maka kemampuan pemutusan ikatannya tidak maksimal. Proses pemanasan pada pemanas listrik dimaksudkan untuk membantu proses pemutusan ikatan pada H2SO4. Sinar UV yang digunakan adalah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm karena berdasarkan literatur, bahwa banyak senyawa organik yang dapat berflouresensi jika disinari UV 254 nm. Pada lampu UV 254 nm noda yang tampak berwarna gelap (ungu) karena yang berflouresensi adalah lempengnya yang mengandung indikator sedangkan sampelnya tidak. Pada lampu UV 366 nm warna noda yang tampak adalah terang atau tampak jelas karena lempengnya tidak berflouresensi tetapi sampelnya.
Gugus ausokrom adalah gugus yang dapat meningkatkan intensitas pita absorbsi kromofor jika kerikatan dengan gugus kromofor akibat pemutusan ikatan rangkap, menyebabkan pergeseran panjang gelombang ke daerah ultra violet dekat (190-380).
Gugus kromofor adalah gugusan atom yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh (terkonyugasi).
Gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh bila dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan tunggal.
Digunakan UV 254 karena UV 254 ini dianggap mewakili pendek (190-280) dan digunakan UV 366 karena UV 366 ini dianggap mewakili panjang (280-380).
Analisis dengan KLT dapat dilakukan untuk mengidentifikasi simplisia yang kelompok kandungan kimianya telah diketahui. Kelompok kandungan kimia tersebut antara lain :(Ditjen POM, 1987)
                            a.  Alkaloid
                            b.  Glikosida jantung
                            c.  Flavanoid
                            d.  Saponin
                            e.  Minyak atsiri
                             f.  Kumarin dan asam fenol karboksilat
                            g.  Valepotriat
Lempeng yang digunakan lempeng silika gel 254 P dengan ukuran 10 x 10 cm. Lempeng dapat berupa lempeng kaca atau lempeng lain yang cocok. Untuk menentukan kelompok kandungan kimia suatu simplisia sekurang-kurangnya diperlukan 10 lempeng (Ditjen POM, 1987).
Cairan elusi :(Ditjen POM, 1987)
a.  Dietil eter:toluena (1 : 1) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga mengandung kumarin.
b.  Etil asetat:asam format:asam asetat glacial:air (100 : 11 : 11 : 27) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga mengandung flavanoid.
c.  Etil asetat : methanol : air (100:13,5:10) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga mengandung flavanoid, alkaloid, antraglikosida, arbutin, glikosida jantung, zat pahit, flavanoid atau saponin.
d.  Kloroform : etanol : asam asetat glacial (94 : 5 : 1 ) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga mengandung minyak atsiri.
e.  Kloroform:methanol:air (64 : 50 : 10) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga mengandung saponin.
f.   Toluena:etil asetat (93 : 7) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga mengandung minyak atsiri, kumarin, valepotriat, asam-asam pada tumbuh-tumbuhan.
g.  Toluena:etil asetat:dietilamina (70 : 20 : 10) untuk mengeluasi pemeriksaan KLT yang diduga mengandung alkaloid.
Faktor yang mempengaruhi harga Rf adalah : (Stahl,1985)
a.      Ukuran partikel pada adsorben
b.      Derajat keaktifan dari lapisan penjerap
c.      Ketetapan perbandingan dari eluen
d.      Konsentrasi zat yang dipanaskan
e.      Kejenuhan chamber
f.       Diameter penotol
g.      Tehnik percobaan
h.      Suhu
i.        Keseimbangan
j.        Jumlah cuplikan yang digunakan
k.      Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap
l.        Pelarut
m.     Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
n.      Dan lain-lain
Manfaat penggunaan KLT antara lain; (Tim Penyusun, 2003)
a.      Pemeriksaan kualitatif dan kemurnian senyawa obat.
b.      Pemeriksaan simplisia hewani dan tanaman.
c.      Pemeriksaan komposisi dan komponen aktif sediaan obat.
d.      Penentuan kualitatif masing-masing senyawa aktif campuran senyawa obat.

 II.2 Uraian Bahan
1.    Dietil eter (Ditjen POM, 1979)
Nama resmi                      :  DIETIL ETER
Nama lain                         :  Dieti, eter
Rumus molekul               : C2H5O
Jarak didih                        :  Tersuling sempurna pada suhu antara 340C
dan 360C.
2.    Metanol (Ditjen POM, 1979)
Nama resmi                      :  METANOLUM
Nama lain                         :  methanol
Rumus molekul               :  CHOH
Berat jenis                         :  0,796 – 0,798
Pemerian                          :  Cairan jernih tidak berwarna, bau khas
Kelarutan                          :  Dapat   bercampur   dengan air membentuk
                                               cairan jernih tidak berwarna.
3.    n-heksana (Ditjen POM, 1979)
Nama remi                        :  HEXAMINUMUM
Nama lain                         :  Heksamina
RM/BM                              :  C6H12N4 / 140,19
Pemerian                          :  Hablur   mengkilap,   tidak   berwarna   atau
                                               serbuk   hablur  putih,  tidak   berbau,   rasa                   membakar ,   manis    kemudian agak pahit.                 Jika    di    panaskan    dalam   suhu   ±260º
                                               menyublim
Kelarutan                          :  Larut   dalam  1,5 bagian air, dalam 12,5 ml
                                               etanol   (95%) P dan dalam lebih kurang 10
                                               bagian kloroform P
Penyimpanan                  :  Dalam wadah tertutup baik




     BAB III
PROSEDUR KERJA
III.1   Alat dan Bahan
III.1.1   Alat
Aluminium foil, batang pengaduk, cawan porselin, chamber, bult, pipet skala, gelas kimia, gelas ukur,  gunting, lampu UV254 dan UV366 lempeng KLT, mistar, pipa kapiler, pinset, pensil 2B, dan vial.
III.1.2   Bahan
Aquadest, label, tissue, ekstrak kering jambu biji (Psidium guajava), methanol, dietil eter, etil asetat, n-heksan dan n-butanol.
III.1.3 Cara Kerja
1.    Disiapkan alat dan bahan yang digunakan
2.    Dibuat eluen n-heksan : etil asetat dengan perbandingan 8:2, dan 2:6
3.    Dimasukkan sedikit ekstrak kering jambu biji(Psidium guajava) kedalam 3 vial
4.    Ditambakan larutan metanol ke vial 1, dietil eter ke dalam vial 2, n-heksana kedalam vial 3
5.    Dibiarkan hingga sampel melarut
6.    Disiapkan lempeng KLT dengan ukuran 7 x 1 cm
7.    Ditotolkan masing-masing sampel pada lempeng KLT yang disediakan
8.    Dimasukkan Lempeng KLT kedalam chamber yang telah berisi eluen dengan perbandingan yang telah dibuat
9.    Dibiarkan eluen hingga mencapai batas dari lempeng
10. Dikeluarkan lempeng dari gelas chamber
11. Diamati dibawah lampu UV254 dan UV366 dan ditentukan nilai Rf dari bercak yang tampak pada lempeng.
12. Dilakukan dgn hal yang sama pada pembuatan eluen n-heksan dan etil asetat pada perbandingan 8:2.
13. Disiapkan 4 lempeng KLT , ditotol dimasukkan ke dalam chamber berisi eluen.
14. Ditunggu hingga mencapat batas dari lempeng.
15. Dikeluarkan dari chamber
16. Disemprotkan lempeng pertama dgn prekasi drangendrof.
17. Diteteskan lempeng kedua dgn perekasi FeCI3
18. Diteteskan lempeng ketiga dengan perekasi H2SO4
19. Diteteskan lempeng ke empat dengan pereaksi karboksilat
20. Diamati dibawah lampu UV254 dan UV366  dan di foto.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN
1. Foto profil KLT
a.    Hasil pengamatan
Nama Simplisia                    : Psidium guajava
Uji Pendahuluan                 : mengandung alkaloid dan saponim
Fase diam                             : silika gel
                                        Fase gerak                            : n-Heksan : Etil asetat (8:2)
                                        Ukuran Lempeng                 : 7 cm x 1 cm
Ø  Pelarut Nonpolar (n-hexan)
Eluen n-heksan : etil asetat (8 : 2)
                   

 

               UV 254 nm                  UV 366 nm                    H2SO4 10 %

 Ø  Pelarut nonpolar (n-heksan)
Eluen n-heksan : etil asetat (8 : 2)
                                            
 UV 254 nm                       UV 366 nm                           FeCl3 %

Ø  Ekstrak semipolar (n-butanol)
Eluen n-heksan : etilasetat (8 : 2)
                                        











       UV 254 nm                UV 366 nm                   karboksilat




Ø  Ekstrak semipolar (n-butanol)
Eluen n-heksan : etilasetat (8 : 2)








                                                                               
       UV 254 nm                UV 366 nm                 Dragendrof



b.    Tabel Pengamatan eksktrak metanol
UV
254 nm
UV
366 nm
Noda
Nilai
Rf
Nilai
Noda
Nilai
Rf
Nilai
1
1 cm
1
0,18 cm
1
0,9 cm
1
0,16 cm
2
1,3 cm
2
0,23 cm
2
1,4 cm
2
0,25 cm
3
2,1 cm
3
0,38 cm
3
1,8 cm
3
0,32 cm
4
3 cm
4
0,54 cm
4
2,3 cm
4
0,41 cm
5
4,4
5
0,8 cm
5
3 cm
5
0,54 cm


6
3,9 cm
6
0,70 cm

7
4,4 cm
7
0,8 cm











Perhitungan  :
UV 254 Nm
Noda 1 = 1cm,          Rf1 =  1/5,5 = 0,18 cm
Noda 2 = 1,3 cm,      Rf2  = 1,3 /5,5 = 0,23 cm
Noda 3 = 2,1 cm,      Rf3  = 2,1/5,5 = 0,38 cm
Noda 4 = 3 cm,         Rf3  = 3/5,5 = 0,54 cm
Noda 5 = 4,4 cm,      Rf3  = 4,4/5,5 = 0,8 cm

UV 366 nm
Noda 1 = 0,9 cm , Rf1 = 0,9/5,5 = 0,16 cm
Noda 2 = 1,4 cm, Rf2  = 1,4/5,5 = 0,25 cm
Noda 3 = 1,8 cm, Rf3  cm = 1,8/5,5 = 0,32 cm
Noda 4 = 2,3 cm, Rf3  cm = 2,3/5,5 = 0,41 cm
Noda 5 = 3 cm, Rf3  cm = 3/5,5 = 0,54 cm
Noda 6 = 3,9 cm, Rf3  cm = 3,9/5,5 = 0,70 cm
Noda 7 = 4,4 cm, Rf3  cm = 4,4/5,5 = 0,8 cm

Ø  Fraksi N-heksan
UV
254 nm
UV
366 nm
Noda
Nilai
Rf
Nilai
Noda
Nilai
Rf
Nilai
1
3,8 cm
1
0,69 cm
1
4,2 cm
1
0,704 cm
2
1,15 cm
2
0,209 cm
2
3,65 cm
2
0,664 cm
*
*
*
*
3
2,7 cm
3
0,491 cm
*
*
*
*
4
1
4
0,182 cm










Perhitungan :
UV 254 nm
Noda 1 = 3,8 cm, Rf1  = 3,8/5,5 = 0,69 cm
Noda 2 = 1,15 cm, Rf2 = 1,15/5,5 = 0,209 cm
UV 366 nm
Noda 1 = 4,2 cm, Rf1 = 4,2/5,5 = 0,704 cm
Noda 2 = 3,65 cm, Rf2  = 3,65/5,5 = 0,664 cm
Noda 3 = 2,7 cm, Rf3 = 2,7/5,5 = 0,491 cm
Noda 4 = 1, Rf4 cm = 1/5,5 = 0,182 cm















BAB V
PEMBAHASAN
Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang ingin dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan perbedaan kepolaran.
Prinsip kerjanya adalah berdasarkan adsorpsi dan partisi, dimana sampel akan berpisah berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.
Fase diam (adsorben) contohnya silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kieslguhr (diatomeous earth), dan selulosa. Dari keempat jenis adsorben tersebut, yang paling banyak dipakai ialah silika gel dan masing-masing terdiri dari beberapa jenis yang mempunyai nama perdagangan bermacam-macam. Silika gel ini menghasilkan perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya. Selain itu harus diingat bahwa penyerap yang berpengaruh nyata terhadap daya pemisahnya.
Fase gerak (mobile) meliputi beberapa variasi eluen. Eluen yang digunakan untuk proses elusi terdapat dua jenis yaitu eluen yang lebih polar dan eluen yang kurang polar. Penggunaan eluen yang kurang polar dimaksudkan untuk mengelusi ekstrak heksan dan ekstrak metanol, sedangkan eluen yang lebih polar untuk mengelusi ekstrak n-butanol jenuh air dan ekstrak metanol. Eluen yang digunakan merupakan kombinasi dari dua macam pelarut, Hal ini dimaksudkan untuk mencapai semua tingkat kepolaran sehingga eluen ini dapat mengangkat noda yang tingkat kepolarannya berbeda-beda. Perbandingan jumlah eluen yang digunakan berdasarkan pengalaman dapat menarik komponen kimia yang maksimal. Namun jika pada penampakan noda, belum diperoleh jumlah noda yang maksimal atau posisi noda terlalu ke atas atau ke bawah maka perbandingan ini dapat dikombinasikan kembali.
Prinsip eluen tersebut dalam melewati fase diam (terelusi naik ke atas) adalah bergerak berdasarkan prinsip partisi dimana fase gerak akan teradsorpsi pada permukaan dan mengisi ruang-ruang diantara sel penyerap, kemudian terpartisi
Prinsip pemisahan noda adalah berdasarkan kepolarannya sehingga menghasilkan kecepatan yang berbeda-beda saat terpartisi dan terjadilah pemisahan. Untuk memisahkan noda dengan sebaik-baiknya maka digunakan kombinasi eluen non polar dengan polar. Apabila noda yang diperoleh terlalu tinggi, maka kecepatannya dapat dikurangi dengan mengurangi kepolaran. Namun apabila nodanya lambat bergerak atau hanya ditempat, maka kepolaran dapat ditambah.
Pemilihan sinar UV yang digunakan yaitu UV 254 nm dan UV 366 nm, karena kedua UV ini telah mampu mewakili kedua jenis UV dekat. Dimana UV panjang diwakili oleh UV 366 nm dan UV pendek diwakili oleh 254 nm.
   Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan tampak berwarna gelap.Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluoresensi yang terdapat pada lempeng. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi
Pada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi. Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel yang digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366 nm
Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan karena adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh ausokrom yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor adalah gugus atom yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh (terkonyugasi). Sedangkan gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan tunggal. Flouresensi warna yang tampak tersebut merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi tinggi. Perbedaan energi emisi yang dipancarkan pada saat kembali ke energi dasar inilah yang menyebabkan perbedaan flouresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda. Penampakan noda setelah lempeng disemprot dengan H2SO4 10% disebabkan karena H2SO4 ini bersifat reduktor yang dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga panjang gelombangnya bertambah dan warna noda dapat dilihat pada cahaya tampak.
Mekanisme penampakan noda ini dapat disebabkan juga karena gugus OH yang dimiliki H2SO4 sehingga berfungsi sebagai ausokrom, dimana ausokrom ini dapat menyebabkan pergeseran batokromik yaitu pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih panjang sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah panjang gelombang yang lebih pendek (ke arah UV hampa). Konsentrasi H2SO4 yang digunakan adalah 10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka dapat merusak lempeng namun jika konsentrasinya terlalu rendah maka kemampuan pemutusan ikatannya tidak maksimal. Proses pemanasan pada pemanas listrik dimaksudkan untuk membantu proses pemutusan ikatan pada H2SO4. Sinar UV yang digunakan adalah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm karena berdasarkan literatur, bahwa banyak senyawa organik yang dapat berflouresensi jika disinari UV 254 nm. Pada lampu UV 254 nm noda yang tampak berwarna gelap (ungu) karena yang berflouresensi adalah lempengnya yang mengandung indikator sedangkan sampelnya tidak. Pada lampu UV 366 nm warna noda yang tampak adalah terang atau tampak jelas karena lempengnya tidak berflouresensi tetapi sampelnya.
Gugus ausokrom adalah gugus yang dapat meningkatkan intensitas pita absorbsi kromofor jika kerikatan dengan gugus kromofor akibat pemutusan ikatan rangkap, menyebabkan pergeseran panjang gelombang ke daerah ultra violet dekat (190-380).
Gugus kromofor adalah gugusan atom yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh (terkonyugasi).
Gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh bila dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan tunggal.
Digunakan UV 254 karena UV 254 ini dianggap mewakili pendek (190-280) dan digunakan UV 366 karena UV 366 ini dianggap mewakili panjang (280-380).
Sebelum dilakukan pengujian KLT, lempeng KLT harus diaktifkan terlebih dahulu. Pengaktifan dilakukan dengan cara lapisan lumpuran silica gel atau aluminium harus dibiarkan selama 30 menit atau lebih pada suhu kamar, kemudian diaktifkan pada suhu 110 oC sekurang-kurangnya 1 jam, dengan demikian lapisan itu mempunyai keaktifan Brockmann II-III dan harus disimpan dalam kotak kering atau desikator besar sampai dipakai.
Adapun tahapan dari pengerjaan kromatografi lapis tipis adalah mula-mula sampel dilarutkan dengan pelarut yang sesuai, dimana ekstrak metanol dilarutkan dengan metanol, ekstrak eter dilarutkan dengan eter dan ekstrak n-butanol dilarutkan dengan n-butanol. Kemudian  sampel yang telah dilarutkan ditotolkan pada lempeng KLT dengan menggunakan pipa kapiler. Lempeng kemudian diangin-anginkan sedikit. Lalu lempeng dimasukkan ke dalam chamber yang berisi eluen (n-heksan:etil asetat, 8:2), dimana sebelumnya chamber dijenuhkan dengan cara memasukkan kertas saring kedalam chamber yang telah berisi eluen dan ditunggu hingga kertas saring terelusi seluruhnya oleh eluen. Kemudian lempeng KLT yang berada di dalam chamber dibiarkan terelusi oleh eluen hingga tanda batas eluen. Bila lempeng KLT telah terelusi, maka lempeng KLT kemudian diangkat dan dikeringkan. Proses berikutnya adalah visualisasi, dimana noda pada lempeng KLT diamati dibawah lampu UV 254 nm dan 366 nm. Juga digunakan penyemprotan dengan menggunakan H2SO4 10%. Setelah dilakukan tahap visualisasi, noda yang telah terpisah kemudian diukur nilai Rf nya
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat.
Faktor-faktor eluen terelusi antara lain :
·         Kapilaritas
·         Kepolaran
·         Kelembaban
·         Suhu
Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini :
1.             Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.
2.             Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluorosensi atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet.
3.             Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi.
4.             Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.
Masalah-masalah yang dapat timbul dalam pelaksanaan kromatografi lapis tipis (KLT), yaitu :
1.            Bercak berekor. Adanya perbedaan pH, ataupun senyawa mengandung gugus yang bersifat asam atau basa kuat (amina atau asam karboksilat). Tambahkan beberapa tetes NH4OH (amonia) atau asam asetat (asam karboksilat) pada eluen.
2.            Bercak tidak membulat. Sampel terlalu pekat. Kembangkan lagi KLT setelah sampel diencerkan.. Sampel terlalu banyak mengandung komponen. Perlu dilakukan partisi terhadap sampel.
3.            Tidak nampak bercak. Sampel terlalu encer. Pekatkan sampel, atau tambahkan volume sampel yang ditotolkan.. Beberapa senyawa memang tidak menunjukkan pemadaman di bawah lampu UV. Pakailah reagen semprot untuk menampakan bercak (biasanya uap iodin atau serium sulfat)
4.            Garis batas atas tidak rata. Chamber tidak/kurang jenuh eluen (penjenuhan kurang optimum).. Pemasangan plat dalam chamber tidak pas (miring).
Noda-noda yang diperoleh biasanya berekor disebabkan karena :
1.   Penotolan yang berulang-ulang dan letaknya tidak tepat
2.   Kandungan senyawa yang terlalu asam atau basa
Pada KLT Nilai Ekstrak metanol pada  UV 254 Nm Noda 1 adalah 1 cm dengan Rf1 0,18 cm, Noda 2  adalah  1,3 cm, dengan Rf2  0,23 cm, Noda 3 adalah 0,9 cm dengan  0,164 cm dan UV 366 nm Noda 1 adalah 3,9 cm , Rf1 adalah  0,709 cm, Noda 2 adalah  2,7 cm, Rf2  yaitu 0,49 cm Noda 3  yaitu 1,15, Rf3  adalah 0,209 cm.
Sedangkan  Fraksi N-heksan UV 254 nm Noda 1  adalah 3,8 cm, Rf1  yaitu 0,69 cm, Noda 2  adalah 1,15 cm, Rf2  yaitu 0,209 cm, pada UV 366 nm Noda 1 adlah 4,2 cm, Rf1 yaitu 0,704 cm, Noda 2 adalah  3,65 cm, Rf2  yaitu 0,664 cm, Noda 3 adalah  2,7 cm, Rf3 yaitu  0,491 cm, Noda 4 adalah  1, Rf4 cm yaitu 0,182 cm, serta Ekstrak metanol Ke II pada UV 254 nm dengan Noda 1 adalah 5 cm, Rf1  yaitu 0,909 cm, Noda 2  adalah 4,3 cm, Rf2  yaitu 0,781 cm , Noda 3 adalah 3,3 cm, Rf3  yaitu  0,6 cm, Noda 4 adalah  2,1 cm, Rf4  yaitu 0,821 cm, Noda  5 adalah 0,9 cm, Rf5  yaitu  0,163 cm, UV 366 nm anatara lain Noda 1 adalah 5,05 cm, Rf1  yaitu 0,918  cm, Noda 2 adalah  4,2 cm, Rf2  yaitu  0,763 cm, Noda 3 adalah 3,45 cm, Rf3  yaitu  0,627 cm, Noda 4 adalah  2,2 cm, yaitu  0,4 cm, Noda 5 adalah  0,9 cm, Rf5  yaitu  0,163 cm,
Fraksi N-kexan ke II pada UV 254 nm, Noda 1 adalah  5 cm, Rf1 yaitu  0,909  cm, Noda 2 adalah  4,2 cm, Rf2  yaitu  0,763 cm, Noda 3 adalah  3,25 cm, Rf3  yaitu 0,590 cm, Noda 4 adalah  2,2 cm, Rf4  yaitu  0,4 cm, Noda 5 adalah  0,9 cm, Rf5  yaitu  0,163 cm, UV 366 nm antara lain Noda 1 adalah  5 cm, Rf1  yaitu 0,909  cm, Noda 2 adalah  4,2 cm, Rf2  yaitu 0,763 cm, Noda 3 adalah 3,35 cm, Rf3  yaitu 0,609 cm, Noda 4 adalah 2,2 cm, Rf4  yaitu 0,4 cm
Dalam percobaan KLT juga dilakukan penyemprotan FeCL3 1 N dan H2SO4 10 % pada lempeng KLT setelah diamati pada lampu UV 254 nm dan 366 nm dengan menggunakan alat khusus untuk penyemprotan yang disambung dengan gas yang menghasilkan udara ketika di hidupkan sehingga gas/angin yang diserap mendorong cairan FeCL3 dan H2SO4 memancarkan air pada lempeng KLT dengan posisi terbaring yang sejajar dengan mulut (tempat keluar air) pada alat penyemprotan. Adapun hasilnya pada penyemprotan FeCL3 1 N mengandung gugus fenolik yang ditandai  dengan warna hjiau kehitaman pada lempeng begitupun juga pada H2SO4 10 %. Dalam percobaan menggunakan pelarut methanol,    n-heksan : etil asetat dengan perbandingan 8 : 2 dalam dibuat dalam 10 ml.













BAB VI
PENUTUP
VI.1   Kesimpulan
Dari hasil percobaan yang dilakukan didapatkan kesimpulan yaitu:
Nilai Rf   pada sampel dengan eluen etil asetat : n-heksan pada pelarut methanol yaitu Rf1= 0,18 cm sampai Rf5 = 0,8 cm pada UV 254 sedangkan pada UV 366 yaitu Rf1  = 0,16 cm sampai Rf7 = 0,8 cm.
Nilai Rf pada sampel dengan eluen etil asetat : n-heksan pada pelarut N-heksan yaitu Rf1 0,69 sampai Rf2 0,209 cm pada UV 254 sedangkan pada UV 366 yaitu Rf1 0,704 cm sampai 0m182 cm.
VI. 2  Saran
Sebaiknya alat-alat di laboratorium ditambah jumlahnya agar proses praktikum dapat berjalan lancar.







DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2013, Penuntun dan Buku Kerja Praktikum Fitokimia 1. Laboratorium Faramasi Bahan Alam Fakultas Farmasi UMI : Makassar.

Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi Untuk  Analisis Bahan Makanan, ANDI UGM, Yogyakarta.

David, C. 2001. Gas Cromatography. Kogan Page. London.

Ditjen POM, 1987. Farmakope Indonesia Ed. III. Departemen Kesehatan RI : Jakarta
Ditjen POM, 1979, Farmakope Indonesia Jilid III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Iskandar, M.J. 2007. Pengantar Kromatografi Edisi Kedua. Penerbit ITB. Bandung.

Lenny, S. 2006. Analisi Kromatografi dan Mikroskop. ITB. Bandung.

Muhfida, M.W. 2001. “Panduan Praktikum Analisis Fitokimia”. Laboratorium Farmakologi Jurusan Farmasi FMIPA. Universitas Padjadjaran. Bandung.

Stahl, E (peny.), 1969. Thin Layer Cromatography, tbn. 2, George Allen dan Unwin. London.

Speight, H. M,. Absorption Kromatography. Academic Press. New York.
Tim Penyusun, dkk. 2003. Penuntun Laboratorium Kimia Produk Alami. Biologi Farmasi. UGM. Jakarta





LAMPIRAN
Skema Kerja
Disapkan alat dan bahan yang digunakan

Disiapakan eluen n-heksan : dietil eter (6:4) dan (2:8)

Dimasukkan ekstrak kedalam 2 vial

Dilarutkan dengan masing pelarut
Vial 1 : methanol
Vial 2 : n-heksana

Disiapkan lempeng KLT dengan ukuran 7 x 1

Ditotolkan sampel dengan pipa kapiler pada lempeng KLT

Dielusis hingga eluen mancapai batas pada lempeng KLT

Diamati dibawah lampu UV254 dan UV366

Dihitung nilai Rfnya

1 comment:

  1. Hello I am so delighted I located your blog, I really located you by mistake, while I was watching on google for something else, Anyways I am here now and could just like to say thank for a tremendous post and a all round entertaining website. Please do keep up the great work.
    autocampionatore spazio di testa

    ReplyDelete

Related Post

laporan KLT

BAB I PENDAHULUAN I.1    Latar Belakang Dalam bidang penelitian obat tradisional bertujuan agar mengenal dan mengidentifikasi s...